I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam agama, termasuk agama Islam untuk mempelajarinya harus
bermula dari mempelajari aspek
geografis dan geografi persebaran agama-agama dunia. Setelah itu dapat dipahami
pula proses kelahiran Islam sebagai salah satu dari agama dunia, terutama yang
dilahirkan di Timur Tah, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiganya dikenal
sebagai agama langit atau wahyu. Kedua hal itu, geografi persebaran dan
persebaran agama itu sendiri. Selanjutnya untuk dapat memahami proses
perkembangan Islam sehingga menjadi salah satu agama yang dianut oleh penduduk
dunia yang cukup luas, harus dikenali lebih dahulu tokoh penerimaan ajaran yang
sekaligus menyebarkan ajaran itu, yaitu Muhammad saw., sang pembawa risalah.
Keberhasilan
proses Islamisasi di Indonesia ini memaksa Islam sebagai pendatang, untuk
mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan
dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam.
Langkah ini merupakan salah satu watatk Islam yang pluralistis yang dimiliki semenjak awal
kelahirannya.
Islam masuk ke Indonesia dan memengaruhi berbagai segi kehidupan masyarakat
Indonesia termasuk juga segi pemermntahan yakni dengan munculnya
kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Kerajaan kerajaan di Indonesia yang
bercorak Islam secara geografis terletak di sepanjang pesisir pantai. Hal ini
disebabkan karera terbentuknya kerajaan dimulai dan kota-kota pelabuhan yang
berfungsi sebagai kota transit sehingga mata pencaharian masyarakatnya di
sektor pertanian dan perdagangan atau disebut maritim.
Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, di Indonesia telah berdiri
kerajaan-kerajaan besar seperti : Samudera Pasai dan Aceh Darussalam
(Sumatera), Pajang, Demak, Mataram, Cirebon, dan Banten (Jawa), Banjar dan Kutai (Kalimantan), Gowa-Tallo,
Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwa (Sulawesi). Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang masuknya agama
Islam di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimana
agama Islam masuk ke Indonesia?
1.2.2
Apa
saja saluran-saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesia?
1.2.3
Bagaimana
penyebaran Islam di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, tujuan makalah sebagai
berikut.
1.3.1
Mengetahui
sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia.
1.3.2
Mengetahui
saluran-saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesia.
1.3.3
Mengetahui
penyebaran Islam di Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Agama Islam
Kata “agama” dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan
kata din dalam bahasa Arab dan Semit,
atau dalam bahasa Eropa sama dengan religion
(Inggris), die religion (Jerman). Secara bahasa, perkataan “agama” berasal
dari bahasa Sangsekerta yang berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi
turun temurun. Adapun kata din secara
bahasa berarti menguasai, menunjukkan, patuh, balasan, atau kebiasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata agama
berarti penghambaan diri kepada Tuhan. Penghambaan diri kepada Tuhan mempunyai
makna tunduk, patuh, dan berserah diri kepada Tuhan.
Sedangkan kata Islam menurut bahasa berasal dari kata “Aslama” yang berarti tunduk, patuh dan
berserah diri. Islam adalah nama dari agama wahyu yang diturunkan oleh Allah
SWT, kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Ajaran Islam berisi
ajaran-ajaran Allah SWT, yang di dalamnya diatur tentang bagaimana cara-cara
manusia dalam berhubungan dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia,
dan hubungan manusia dengan alam semesta. Pada dasarnya agama Islam mengajarkan
tentang :
1.
Akidah atau keimanan yang intinya adalah tauhid (mengesakan Allah SWT).
2.
Syari’ah yang berisi aturan-aturan yang berkaitan dengan ibadah dan
mu’amalah.
3.
Akhlak yang berkaitan dengan kepribadian seorang Muslim yang berperilaku
baik dan mulia atau akhlak karimah.
Agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT, kepada Nabi
Muhammad SAW, merupakan agama yang terakhir untuk manusia, dan merupakan ajaran
yang sempurna dan sesuai dengan tingkat perkembangan manusia sejak
diturunkannya sampai hari kiamat.
2.2 Masuknya Islam ke Indonesia
Mengenai
Islam datang di Indonesia, pendapat para ahli masih berbeda-beda. Sebagian ahli
berpendapat bahwa Islam sudah ke Indonesia pada abad ke-7, sedangkan yang lain
berpendapat Islam baru masuk ke Indonesia
pada abad ke-13 terutama di Samudra Pasai.
Mereka
berpendapat masuknya Islam ke Indonesia
pada abad ke-7 sesuai dengan berita Cina dari zaman Dinasti Tang. Berita
Cina itu menceritakan tentang rencana serangan orang Ta Shih terhadap Kerajaan
Holing yang diperintah Ratu Sima (674 M). Sebutan Ta Shih itu ditafsirkan
sebagai orang-orang Arab.
Sedangkan
ahli yang berpendapat masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13, mendasarkan
pada dugaan keruntuhan Dinasti Abbasiah oleh Hulagu (1258 M), berita Marco Polo
(1292 M), berita Ibnu Batullah (abad ke 14 M), batu nisan pada makam Sultan
Malikal Saleh (1297) dan penyebaran ajaran tasawuf (abad ke-13).
Setelah
memperhatikan pendapat-pendapat tersebut, maka kedatangan Islam ke Indonesia
masih belum bisa dipastikan. Namun pada abad ke-7 dipandang sebagai abad
permulaan datangnya pedagang muslim ke Indonesia yang saat itu di bawah
kekuasaan Sriwijaya. Sebaliknya abad ke-13 menunjukkan bahwa masyarakat Islam
waktu itu sudah terbentuk, bahkan muncul kerajaan yang bercorak Islam yakni
Samudra Pasai.
Demikian
pula dengan negeri asal golongan masyarakat muslim yang membawa Islam ke
Indonesia, pendapat sejumlah ahli pun berbeda. Berdasarkan berita Cina jelas
bahwa Islam dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendapat lain
dikemukakan oleh S.Q Fatimi dalam bukunya “Islam
Come to Malaysia”. Ia berpendapat bahwa Islam berasal dari Banggala.
Sebaliknya, Snouk Hugronye dan ahli lain berpendapat bahwa Islam dibawa ke
Indonesia oleh orang Gujarat (India). Jadi Islam tidak disebarkan langsung dari
Arab, sebab hubungan Arab dengan Indonesia secara langsung baru dimulai pada
abad ke-17.
Pendapat
Snouck Hugronye itu diperkuat oleh penelitian J.P Moquette terhadap batu nisan
Sultan Malik As Saleh yang ada di Samudra Pasai berangka tahun 1292 M,
menunjukkan pembuatannya berasal dari satu pabrik di Cambai (Gujarat). Bukti
yang lain ialah adanya kesamaan unsure-unsur Islam di Indonesia dan India,
cerita-cerita tentang nabi dan pengikutnya yang tersebar di Indonesia berbeda
dengan versi Arab tetapi berversi India.
Adapun
tentang golongan masyarakat pembawa Islam ke Indonesia pada umumnya para ahli
berpendapat hamper sama yaitu kaum
pedagang, mubaligh, dan tasawuf.
1. Kaum pedagang
Berbeda
dengan agama Hindu dan Buddha adalah adanya golongan pendeta dan Brahmana yang
khusus melakukan kegiatan agama, dalam agama Islam hal itu tidak dijumpai.
Dalam agama Islam semua muslim adalah da’i, oleh sebab itu pedagang daalam
Islam adalah tokoh penyebar agama.
2. Mubaligh
Selain
pedagang ada pula mubaligh atau guru-guru agama yang pekerjaannya lebih khusus
mengajarkan agama. Kedatangan mereka lebih mempercepat Islamisasi. Sebab
kemudian mereka mendirikan pesantren yang mencetak kader-kader utama/guru-guru
agama.
3. Tasawuf
Golongan
yang lain adalah penganut tasawuf yang kedatangannya diperkirakan pada abad
ke-13.
Dari gambaran tersebut tampaknya
hanya orang-orang asing saja yang penyebar agama Islam di Indonesia. Namun
dalam kenyataannya tidaklah demikian, sebab sejak Samudra Pasai dan Malaka
menjadi pusat Kerajaan Islam ke daerah-daerah yang lain bahkan disaat hubungan
Mekah dengan Indonesia semakin lancer (abad ke-17), banyak orang-orang
Indonesia yang bermukim di Mekah. Disana mereka memperdalam agama Islam,
sekembalinya ke tanah air mereka kemudian menyebarkan agama Islam kepada
masyarakat.
Selain golongan pembawa ada pula
golongan penerima Islam. Disini dikenal adanya dua golongan, yaitu golongan
elit (raja-raja, bangsawan dan penguasa) dan golongan non elit (lapisan bawah).
Selain sebagai penguasa politik, golongan elit juga mempunyai peranan dalam
menentukan kebijakan perdagangan dan pelayaran. Bahkan banyak diantara mereka
menjadi pemilik saham dan pemegang monopoli perdagangan dan pelayaran. Dengan
sendirinya penerimaan Islam melalui golongan elit lebih mempercepat Islamisasi
dibandingkan dengan lapisan bawah, sebab adanya kekuasaan dan pandangan
karismatik dari rakyat terhadap raja/bangsawan menyebabkan mereka mengikuti
jejak pemimpin mereka.
Terjadinya kekacauan politik di
pusat-pusat kerajaan Hindu seperti Majapahit mempercepat proses Islamisasi. Hal
ini disebabkan pada situasi disintegrasi politik di pusat kerajaan, banyak
paara adipati pesisir berusaha melepaskan diri dan berhubungan dengan
pedagang-pedaagang muslim.
Berdasarkan tradisi dan babad maka di
berbagai daerah di Indonesia dikenal tokoh-tokoh pembawa dan penyebar agama
Islam. Di Jawa dikenal dengan adanya Wali Sanga (wali Sembilan), yakni Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunungjati dan Maulana Malik Ibrahim.
2.3 Saluran-Saluran dan Cara-Cara Islamisasi
Tentang
saluran Islamisasi ada beberapa jalan yakni melalui perdagangan, perkawinan,
pendidikan, tasawuf, dan kesenian. Islamisaasi lewat saluran perdagangan
terjadi pada taraf awal, yakni sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan
antara abad ke-7 sampai abad ke-16. Dengan ikut sertanya raja/bangsawan dalam
kegiatan perdagangan dan disintegrasi politik di pusat kerajaan, maka
Islamisasi lewat perdagangan berjalan semakin cepat.
Pada
tingkat berikutnya, dengan semakin
banyak pedagang muslim yang datang ke Indonesia, maka terbentuklah tempat-tempat pemukiman yang biasanya disebut
Pekojan. Diantara mereka kemudian ada yang memegang peranan politik dan
ekonomi, sehingga status sosialnya tinggi. Karena pedagang asing yang datang ke
negeri lain biasanya tidak membawa istri, maka banyak diantaranya yang kemudian
menikah dengan wanita pribumi. Melalui perkawinan itu lingkungan merekapun
semakin meluas sehingga muncul perkampungan, daerah-daerah, dan kerajaan Islam.
Islamisasi melalui saluran perkawinan ini pengaruhnya semakin besar jika salah
satu pihak berasal dari kalangan bangsawan dan penguasa. Misalnya perkawinan
antara Putri Campa dengan Prabu Brawijaya.
Ternyata
pendidikan juga memegang peranan penting dalam proses Islamisasi. Guru-guru
agama dengan pondok-pondok pesantren
berikut santri, merupakan lembaga agama Islam. Semakin terkenal kyai (guru
agama) yang mengajar, semakin terkenal pula pesantrennya. Biasanya setelah keluar
dari pesantren, murid-murid kemudian kembali ke daerahnya dan mendirikan
pesantren atau menjadi ulama.
Pada
masa pertumbuhan Islam dikenal Pesantren Ampel Denta milik Sunan Ampel (Raden
Rakhmat), juga pesantren Sunan Giri yang murid-muridnya kebanyakan datang dari
Maluuku dan daerah-daerah lain. Bahkan raja-raja dan bangsawan biasanya juga
mendatangkan kyai dan ulama sebagai guru atau penasehat agama, misalnya dalam
sejarah Banten dikenal Kyai Dukuh atau Pangeran Kusunyatan sebagai guru dari
Maulana Yusuf. Syekh Yusuf adalah penasehat agama Sultan Ageng Tirtayasa.
Tasawuf
ternyata juga merupakan saluran penting dalam proses Islamisasi. Disini tasawuf
berfungsi sebagai pembentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia, sebagai sifat
spesifik tasawuf memudahkan penerimaan masyarakat yang bukan Islam terhadap
lingkungannya. Dengan kata lain tasawuf Islam lebih mudah diterima khususnya
bagi orang-orang yang mempunyai dasar-dasar ajaran ketuhanan. Gambaran tentang
hal ini banyak dijumpai dalam babad dan hikayat dalam sejarah Banten. Beberapa
tokoh tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan konsep
pemikiran mistik Indonesia Hindu misalnya Hamzah Fansuri, Syamsudin, Syekh
Lemah Abang, Sunan Panggung dan lain-lain.
Saluran
Islamisasi yang lain ialah kesenian, baik seni bangunan, seni pahat (ukir),
musik, sastra, dan sebagainya. Masuknya Islam leawat kesenian terlihat jelas
dari buktri-bukti peninggalan sejarah. Misalnya masjid-masjid kuno dengan cirri
yang spesifik, hiasan pada mihrab, ukir-ukiran, pintu gerbang, menara, makam ,
tradisi, sekaten, pertunjukan wayang, debus, tarian, dan sebagainya. Dari
bukti-bukti itu sering kita jumpai adanya pengaruh anasir pra-Islam. Hal
semacam itu kita jumpai pada seni sastra. Demikian banyak karya-karya sastra
dalam masa peralihan yang kemudian ditulis kemvali dalam bahasa daerah setempat
atau huruf Arab., sehingga mempercepat proses meluasnya pengaruh Islam.
2.4 Penyebaran Islam di Indonesia
Kedatangan Islam ke berbagai daerah di Indonesia ternyata
tidak bersamaan. Faktor komunikasi, situasi dan kondisi politik, dan latar
belakang sosial budaya masyarakat setempat ikut menentukan proses Islamisasi di
daerah-daerah di Indonesia. Berita Cina dan berita orang Arab memberikan bukti
bahwa sejak abad ke-7 atau ke-8 perdagangan antara orang Arab, India, Persia,
Indonesia, dan Cina sudah ramai. Menurut Rita ar. Di Meglio
perkampungan-perkampungan pedagang Arab sebelum abad ke-9 dan abad ke-11 M baru
terdapat di Kalah, Takuapa, Qaquallah dan Lambri (Aceh). Dengan demikian pada
masa kekuasaan Sriwijaya pedagang-pedagang muslim telah berlalu lalang di selat
Malaka dalam pelayarannya ke negeri Asia Tenggara dan Asia Timur.
Sejalan dengan kemunduran kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-13, maka pedagang-pedagang muslim berkesempatan selain mendapat keuntungan
dagang juga mendapat pengaruh politi, disana mereka menjadi pendukung
terbentuknya Samudera Pasai yang bercorak Islam. Dari Samudra Pasai, Islam
kemudian berkembang ke arah Malaka. Diperkirakan pada abad ke-14 diperkirakan
sudah timbul masyarakat muslim. Dengan semakin meluasnya perkembang masyarakat
muslim di Malaka, maka terbentuklah kekuasaan politik yakni kerajaan Malaka
pada awal abad ke-15. Situasi politik pada saat itu memungkinkan kerajaan
bercorak Islam itu berkembang. Sebab bersamaan dengan tumbuhnya Malaka, maka
peranan politik Majapahit waktu itu sudah menurun.
Yang jelas pada awal mulanya, Islam berkembang di daerah
pesisir. Dalam Summa Oriental-nya, Tom Pires menyebutkan bahwa pada awal abad
ke-16 daerah-daerah di pesisir Sumatera Utara dan Timur Selat Malaka yaitu Aceh
sampai Palembang sudah banyak masyarakat dan kerajaan Islam. Sedang di
daerah-daerah pedalaman pada umumnya masih menganut paham lama. Adapun proses
Islamisasi ke daerah pedalaman Aceh dan Sumatera Barat, baru terjadi pada Aceh
melakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 sampai 17 M.
Penyebaran Islam di Jawa diduga berasal dari Malaka.
Namun kapan hal itu berlangsung belum dapat diketahui dengan pasti. Bukti
tertua tentang Islam di Jawa adalah batu nisan makam Fatimah binti Maimun di
Leran Gresik yang berangka tahun 1082 M, tetapi bukan berarti bahwa Islam waktu
itu telah meluas ke Jawa Timur. Adanya masyarakat muslim di Jawa Timur,
diperkirakan baru terbentuk padaa masa puncak kerajaan Majapahit.
Disaat Majapahit mengalami masa suram, yakni pada awal
abad ke-15 muncul kota Tuban dan Gresik sebagai pusat penyebaran Islam yang
berpengaruh luas hingga ke Maluku. Kota pusat penyebaran Islam di Jawa yang
lain adalah Demak. Dari pemberitaan penulis Italia Anatonia Pigafetta, dapat
dipastikan pada awak abad ke-16 peranan politik di Jawa telah berada di tangan
Demak. Namun runtuhnya Majapahit yang berpusat di Daha pada tahun 1526, bukan
berarti daerah Jawa Timur telah dikuasai Islam, sebab kerajaan kecil seperti
Pasuruan, Panarukan, dan Blambangan masih bertahan dengan tradisi lama.
Pasuruan baru tunduk pada tahun 1546 setelah ekspansi Sultan Trenggana dari
Demak. Sedangkan Blambangan masih bertahan sampai zaman Mataram (abad ke-17)
yakni masa pemerintahan Sultan Agung dan Amangkurat.
Dari Demak, kemudian Islam meluas ke daerah pesisir utara
Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari tujuan politik maupun ekonomi. Sebab
pelabuhan-pelabuhan Sunda seperti Cirbon, Kalapa, dan Banten amat potensial
bagi ekspor hasil bumi terutma lada. Secara politis penguasaan Demak juga
sebagai satu langkah menghadapi Portugis yang waktu itu telah mengikat
perjanjian dengan Kerajaan Hindu Padjajaran (perjanjian 21 Agustus 1522). Oleh
sebab itu, Demak segera mengirimkan ekspedisi militer di bawah pimpinan
Falatehan untuk merebut bandar-bandar Sunda tersebut. Meskipun
baandar-baandarnya telah jatuh, namun daerah pedalaman masih bertahan. Pusat
kerjaan Padjajaran baru menyerah pada sekitar 1579-1580 akibat
serangan-serangan tentara Islam dari Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf.
Dalam hal ini, J.V Van Leur meihat bahwa proses
islamisasi di Jawa menjadi alat politik. Hal ini akan terlihat jika dikaitkan
dengan adanya pertentangan antar kota Bandar yang maritim dengan pusat kerajaan
pedalaman yang agraris, usaha melepaskan diri dari penguasaan pesisir untuk
memperoleh otonomi politik dan ekonomi dan intrik-intrik di kalangan istana
pada masa Majapahit. Tetapi yang jelas perkembangan Islam bersifat kompleks,
menyangkut berbagai aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Adapun penyebaran Islam ke daerah Maluku, hal itu tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan dagang yang terbentang antar Malaka dan Jawa
serta Maluku. Islam diperkirakan sudah masuk kesana abad ke-13. Menurut tradisi
penyebaran Islam dilakukan oleh Maulana Husyain pada masa pemerintahan Marhum
di Ternate. Sedangkan hikayat tanah Hitu menyebutkan bahwa raja pertama yang
dianggap benar-benar memeluk agama Islam adalah Zaenal Abidin (1486-1500).
Konon ia belajar agama Islam di pesantren Giri.
Di lain pihak Tome Piress maupun Antonio Gallao
berpendapat bahwa hubungan dagang antara Maluku-Jawa dan Malaka merupakan
saluran islamisasi. Pada saat itu kapal-kapal dagang Gresik milik Pate Cusuf
datang dan singgah di Ternate. Raja Ternate yang memeluk Islam menurut mereka
bernama Bern Acorala, yang waktu itu sedang berperang melawan mertuanya, yaitu
Raja Almancor dari Tidore. Diperkirakan bahwa raja Maluku sudah memeluk agama
Islam pada sekitar 1460-1465. Dengan sendirirnya dapat diduga bahwa di daerah
sekitarnya seperti Banda, Hitu, Haruku, Makyam dan Bacan sudah terdapat
masyarakat muslim.
Berbeda dengan situasi politik di Jawa, islamisasi di
Jawa tidak menghadapi situasi kerajaan yang sedang mengalami perpecahan. Dalam
kenyataannya Islam berkembang di Maluku melalui perdagangan, dakwah dan
perkawinan. Sebalinya proses islamisasi diwarnai oleh persaingan di antar
raja-raja muslim., seperti Ternate dan Tidore. Selain itu juga di tengah
persaingan politik dan monopoli perdagangan bangsa Barat seperti Portugis,
Spanyol, Belanda, serta Inggris, agaknya perluasan Kerajaan Islam Maluku
terjadi pada masa pemerintahan Sultan Khairun, dari Maluku Islam tersebar ke
Irian dan sekitarnya.
Penyebaran di daerah Kalimantan Selatan dapat diketahui
dari hikayat Banjar. Proses Islamisasi disini diwarnai oleh perpecahan
dikalangan istana, yakni antar Pangeran Tumenggung dan Raden Samudra. Pangeran
Tumenggung adalah Raja atas Neghara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang bercorak
Indonesia-Hindu yang letaknya kura-kira daerah Amuntai sekarang. Dalam
peperangan antara kerajaan Banjar dan negara Daha, Raden Samudra meminta
bantuan Demak dengan perjanjian bersedia masuk Islam. Atas bantuan Demak maka
negara Daha dapat dikalahkan dan sejak saat itu pula Kerajaan Banjar yang
bercorak Islam berkembang. Raden Samudra kemudian bergelar Sultan Suryanullah.
A.A Cense berpendapat bahwa proses Islamisasi di daerah Banjarmasin berlangsung
kira-kita tahun 1550 sedangkan Islamisiasi di Kalimantan Timur, hikayat Kutai
menceritakan prosesnya berlangsung damai. Sebelum kedatangan Islam, kerajaan
Kutai bercorak Indonesia-Hindu, sedangkan di daerah pedalaman rakyatnya
menganut animisme dan dinamisme. Dikatakan bahwa pembawa Islam di Kutai adalah
Tuan Dibanding dan Tuan Tunggangparangan, yaitu pada masa pemerintahan Raja
Mahkota. Akhirnya Raja Mahkota masuk Islam karena merasa kalah dalam
kesaktiannya. Diperkirakan proses Islamisasi di Kutai dan sekitarnya terjadi
pada masa putra Raja Mahkota, yakni Aji Dilanggar.
Sulawesi Selatan sebenarnya sejak abad ke-15 sudah
didatangi pedagang muslim, baik dari Malaka, Jawa dan Sumatera. Tetapi pada
awal abad ke-16, menurut Tome Pires ada sekitar 50 kerajaan yang masih
menyembah berhala, diantaranya yang terkenal yakni Kerajaan Gowa Talo, Bone,
Wajo, Soppeng dan Luwu.
Dalam hikayat Gowa Talo dan Wajo, diketahui bahwa
penyebaran Islam di daerah kerajaan Gowa berjalan damai. Pembawa Islam bernama
Datok ri Baandang dan Datok Suleman. Secaara resmi raja Gowa dan Talo telah
memeluk Islam pada tanggal 22 September 1605. Selanjutnya kerajaan Islam Gowa menundukkan
Soppeng, Wajo dan Bone. Akhirnya mereka secara resmi masuk Islam. Wajo 10 Mei
1610 dan Bone pada tanggal 23 November 1611.
Pada umumnya proses Islamisasi di Indonesia berlangsung damai, namun
adakalanya terjadi penaklukan militer. Hal itu bukan semata-mata masalah agama,
namun didorong oleh ambisi politik dan kepentingan ekonomi. Dilain pihak, Islam
juga berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan politik untuk menghadapi lawan
yaang mengancam kehidupan politik dan ekonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Imam, dkk. 2012. Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter di Perguruan Tinggi. Jakarta
: Rajawali.
Maskun. 2017. Sejarah
Indonesia Sampai Abad ke XV. Bandar Lampung.
Comments
Post a Comment