Skip to main content

MATERI PENDIDIKAN PANCASILA


A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika

a. Pengertian Etika
Pernahkah Anda mendengar istilah “etika”? Kalaupun Anda pernah mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah “etika” berasal daribahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik dan buruk(Bertens,1997:4-6). Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perlaku manusia.Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip prinsip yang mengaturnya itu kerapkali disebut moralitas atau etika(sastrapratedja,2002:81)

Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan tentang etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai  Apakah yang Anda ketahui tentang nilai? Frondizi menerangkan bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, nilai membutuhkan pengemban untuk berada(2001:7). Misalnya, nilai  kejujuran melekat pada sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey menjelaskan bahwa paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan secara umum, yaitu sebagai berikut.

1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna atau pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas seseorang sebagai pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu yang baik di antara berbagai kemungkinan tindakan.
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri (Lacey, 1999:23)

Dengan demikian, nilai sebagaimana pengertian butir kelima, yaitu sebagai standar fundamental yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang diterapkan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat
dikategorikan etis atau tidak
 Namun, tahukah Anda bahwa dalam bahasa pergaulan orang acapkali mencampuradukkan istilah “etika” dan “etiket”? Padahal, keduanya mengandung perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun, adat istiadat . Jika dilihat dari asal usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan etiket berasal dari kata “etiquette”. Keduanya memang mengatur perilaku manusia secara normatif. tetapi Etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian
kritis tentang baik dan buruk, sedangkan etiket mengacu kepada cara yang tepat, yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertentu. Contoh, mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak penting apakah dia mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan tata cara berpeilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan tangan kanan dianggap lebih sopan atau beretiket (Bertens,1997:9) .

b. Aliran-aliran Etika
Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang mempelajari keutamaan tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan pada What should I be?, atau “saya harus menjadi orang yang bagaimana?”. Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik hati, ksatriya, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur,
terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana,peduli dan toleran (Mudhofir, 2009:216-219). Orang yang memelihara metabolisme  tubuh untuk mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan sebagai bentuk penguasaan diri dan disiplin.

 Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat sangat baik atau mengikuti asas-asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu berbahaya atau jelek, maka tindakan tersebut dinilai secara moral sebagai tindakan yang tidak etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas tindakan tersebut dalam mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di dalamnya kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang diinginkan (Mudhofie, 2009:214)  meliputi eudaemonisme, hedonisme, utilitarianisme.

Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau akibat. Kewajiban moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung kemestian untuk melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban moral lebih diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral. Konsep-konsep nilai
moral kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti tidak dapat dianalisis (mudhofir, 2009: 141)




Aliran Etika dan karakteristiknya
Aliran
Orientasi
Watak nilai
Keterangan
Etika
Keutamaan
Keutamaan
atau kebajikan
Disiplin, kejujuran,belas
kasih, murah hati, dan seterusnya
Moralitas yang
didasarkan pada agama
kebanyakan menganut
etika keutamaan.
Teleologis
Konsekuensi
atau akibat
Kebenaran dan
kesalahan
didasarkan pada
tujuan akhir
Aliran etika yang
berorientasi pada
konsekuensi atau hasil seperti: Eudaemonisme,
Hedonisme,
Utilitarianisme.
Deontologis
Kewajiban atau
keharusan
Kelayakan,
kepatutan,
kepantasan
Pandangan etika yang mementingkan
kewajiban seperti halnya pemikiran Immanuel
 Kant yang terkenal
dengan sikap imperative kategoris, perbuatan baik
dilakukan tanpa pamrih.


c. Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antarsesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain. Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain, deontologis dan teleologis termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebi jaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang berupa kepercayaan yang
tertuju pada kenyataan mutlak kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari
penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah menjadi haknya (mufhofir,2009:386).

2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang
dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut.
·         Pertama, banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
·         Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa.
·         Ketiga, masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia  kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada 2013 yang lalu.
·         Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia.
·         Kelima, ketidakadilan hokum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby. Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup. Namun, diperlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut agar tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya, korupsi terjadi lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang memerlukan bantuan atau jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si pejabat menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan hadiah. Demikian pula halnya dengan masyarakat yang menerima sesuatu dalam konteks politik sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap.

Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika

Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem penyelenggaraan negara. Anda dapat bayangkan apabila dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidance atau tuntunan bagi para penyelenggara negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, mel iputi hal-hal sebagai berikut.
·         Pertama, korupsi akan bersimaharajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika   terkait dengan pemahaman atas kriteria baik dan buruk. Archie Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm,1998:58)
·         Kedua, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai -nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
·         Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media, seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga, penelantaran anak-anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah tangga  menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan tentang  HAM (Lihat Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
·         Keempat, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lainsebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehinggamenimbulkan kabut asap. Oleh  karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan yang terlibat.


C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika

1. Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai–nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).
Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etikadisosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7.
Untuk memudahkan pemahaman tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut (Soeprapto,1993)

SILA PANCASILA
CARA PENGAMALAN
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Manusia Indonesia percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat menghormati dan bekerja
sama antarpara pemeluk agama dan
para penganut kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain
2. Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
a. Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan
kewajiban asasi antarsesama manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang
lain
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan
keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, dikembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan, keselamatan bangsa dan
bernegara di atas kepentingan pribadi
atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia
dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka
tunggal ika.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
a. Sebagai warga negara dan warga
masyarakat mempunyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama dengan
mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e. Dengan itikad yang baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil putusan
musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
g. Putusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan yang
luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada
orang lain
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain.
g. Tidak bersifat boros
h. Tidak bergaya hidup mewah
i. Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum
j. Suka bekerja keras
k. Bersama-sama berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.

2. Sumber Sosiologis

Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan local yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.

3. Sumber politis

Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma
dasar perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma,akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut  sistem etika merupakan norma tertinggi sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari instituisi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan (Haryatmoko,2003).

Comments

Popular posts from this blog

SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM DI ASIA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1   LATAR BELAKANG Program terencana Dinasti Umayyah yang paling direncanakan adalah invasi ke Timur dan ke Barat. Semasa Pemerintahan Khalifah Al- Walid, penyusunan strategi penakhlukan ke Barat dirancang dengan serius. Namun, pasukan perang   islam lebih dulu menundukkan wilayah Afrika Utara yang pada masa itu telah dikuasai oleh Romawi. Masuknya pengaruh Romawi ke Afrika di mulai dari ekspedisi ke Mesr yang dipimpin Julius Caesar. Saat itu Mesir di bawah kepemimpinan Dinasti Ptolomeus. Cleopatra VII menjadi permaisuri dan menjaid istri dari adik kandungnya sendiri. Kekauatan muslim semakin kuat dan berhasil mengalahkan kekuasaan Romawi di Afrika yang telah lama dikuasai ole orang- orang Eropa tersebut. Kemenangan itu member i dorongan yang sangat kuat kepada tentara muslim untuk   memperluas pengaruh islam dengan   mengincar daerah Spanyol. Pasukan tentara Dinasti umayyah yang melakukan penyerangan ke Spanyol berasal dari b...

KOLONIALISME BELGIA DI AFRIKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Afrika adalah benua terbesar   di kedua di dunia setelah Asia, Berdasarkan iklim, keadaan tanah dan penduduknya. Sampai dengan permulaan abad 19 Afrika belum mempunyai daya tarik yang memikat bagi bangsa Barat. Pada saat itu belum ditemukan bukti-bukti tentang kekayaan alam Afrika.  Se telah penjelajahan Inggris bernama D. Livingstone dan Henry Morton Stanley membuka rahasia “benua gelap” itu, mulailah bangsa Barat mengenal daerah-daerah Afrika beserta kekayaan alamnya. Perkembangan industri di negara-negara Eropa mendorong para pedagang dan petualang memasuki benua Afrika. Menjelang akhir abad 19 bangsa Barat berbondong-bondong datang ke Afrika untuk mencari daerah-daerah yang mempunyai potensi  komersial Dari sinilah dimulai lembaran baru dalam sejarah bangsa Afrika Yang diwarnai dengan kolonialisme dan imperialisme bangsa barat. Yakni salah satunya Kolonial belgia pada waktu sebelum Perang Dunia I ...

Makalah Masalah Atau Kesulitan Belajar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kegiatan belajar mengajar sering ditemukan masalah-masalah yang berkenaan dengan masalah belajar yang dialami oleh para siswa, hal ini dapat menggangu siswa dalam kegitan belajarnya sehingga menyebabkan masalah atau kesulitan belajar yang mereka alami. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik itu faktor internal (dalam diri) dan faktor eksternal (faktor dari luar). Dengan adanya kesulitan atau masalah belajar yang dialami oleh para siswa harus dapat segera diatasi sesegera mungkin karena akan dapat menggangu jalannya kegiatan belajar siswa. Jika terdapat siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak menemukan solusinya maka akan menyebabkan prestasinya rendah atau dapat tidak lulus. Sehingga diperlukan solusi untuk mengatasi masalah atau kesulitan belajar yang dialami oleh para siswa, yang harus dihadirkan atau ditemukan sesegera mungkin untuk mengatasi masalah atau kesulitan belajar tersebut. Dengan begitu diharapkan masal...