A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
a. Pengertian Etika
Pernahkah Anda mendengar istilah
“etika”? Kalaupun Anda pernah mendengar istilah tersebut, tahukah Anda apa artinya? Istilah
“etika” berasal daribahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Secara etimologis,
etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan
hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun masyarakat.
Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika sama maknanya
dengan moral.
Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik
dan buruk(Bertens,1997:4-6). Etika pada umumnya dimengerti
sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau
buruk dalam perlaku manusia.Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan
prinsip prinsip yang mengaturnya itu kerapkali disebut
moralitas atau etika(sastrapratedja,2002:81)
Etika selalu terkait dengan masalah
nilai sehingga perbincangan tentang etika, pada umumnya membicarakan tentang masalah nilai Apakah yang Anda ketahui
tentang nilai? Frondizi menerangkan bahwa nilai
merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak
ada untuk dirinya sendiri,
nilai membutuhkan pengemban untuk berada(2001:7). Misalnya, nilai kejujuran melekat pada
sikap dan kepribadian seseorang. Istilah nilai
mengandung penggunaan yang kompleks dan bervariasi. Lacey
menjelaskan bahwa paling tidak ada enam pengertian nilai dalam penggunaan
secara umum, yaitu
sebagai berikut.
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna
atau pemenuhan
karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagian membentuk identitas
seseorang sebagai
pengevaluasian diri, penginterpretasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih sesuatu
yang baik
di antara berbagai kemungkinan tindakan.
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang
ketika bertingkah
laku bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu
yang sekaligus
membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian
seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah,
teknologi, objek yang
disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri (Lacey,
1999:23)
Dengan demikian, nilai sebagaimana
pengertian butir kelima, yaitu sebagai standar fundamental yang menjadi
pegangan bagi seseorang dalam bertindak, merupakan kriteria yang penting untuk mengukur karakter
seseorang. Nilai sebagai standar fundamental ini pula yang
diterapkan seseorang
dalam pergaulannya dengan orang lain sehingga perbuatannya dapat
dikategorikan etis atau tidak
Namun, tahukah Anda bahwa dalam bahasa pergaulan orang acapkali
mencampuradukkan istilah “etika” dan “etiket”? Padahal,
keduanya mengandung
perbedaan makna yang hakiki. Etika berarti moral, sedangkan etiket lebih
mengacu pada pengertian sopan santun, adat istiadat . Jika dilihat
dari asal usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”,
sedangkan etiket berasal dari kata “etiquette”. Keduanya memang mengatur perilaku
manusia secara normatif.
tetapi Etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian
kritis tentang baik dan buruk, sedangkan etiket mengacu kepada
cara yang tepat,
yang diharapkan, serta ditentukan dalam suatu komunitas tertentu.
Contoh, mencuri termasuk pelanggaran moral, tidak penting
apakah dia mencuri
dengan tangan kanan atau tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan
tata cara berpeilaku dalam pergaulan, seperti makan dengan
tangan kanan dianggap
lebih sopan atau beretiket (Bertens,1997:9) .
b. Aliran-aliran Etika
Ada beberapa aliran etika yang dikenal
dalam bidang filsafat, meliputi etika keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau
etika kebajikan adalah
teori yang mempelajari keutamaan tentang perbuatan manusia itu baik atau buruk.
Etika kebajikan ini mengarahkan
perhatiannya kepada keberadaan manusia, lebih menekankan
pada What should I be?, atau “saya harus menjadi
orang yang bagaimana?”. Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah baik
hati, ksatriya,
belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar, percaya
diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani,
santun, jujur,
terampil, adil, setia, ugahari (bersahaja),
disiplin, mandiri, bijaksana,peduli dan toleran
(Mudhofir, 2009:216-219). Orang yang memelihara metabolisme tubuh untuk
mendapatkan kesehatan yang prima juga dapat dikatakan sebagai
bentuk penguasaan diri dan disiplin.
Etika teleologis adalah teori yang menyatakan
bahwa hasil dari tindakan
moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan
dilawankan dengan kewajiban. Seseorang yang mungkin berniat
sangat baik atau
mengikuti asas-asas moral yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan
moral itu berbahaya atau jelek, maka tindakan tersebut
dinilai secara moral sebagai
tindakan yang tidak etis. Etika teleologis ini menganggap nilai moral
dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas
tindakan tersebut dalam
mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap bahwa di
dalamnya kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai
berdasarkan tujuan akhir
yang diinginkan (Mudhofie, 2009:214) meliputi eudaemonisme,
hedonisme, utilitarianisme.
Etika deontologis adalah teori etis
yang bersangkutan dengan kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau
akibat. Kewajiban
moral bertalian dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran
moral atau kelayakan, kepatutan. Kewajiban moral mengandung
kemestian untuk
melakukan tindakan. Pertimbangan tentang kewajiban moral lebih
diutamakan daripada pertimbangan tentang nilai moral.
Konsep-konsep nilai
moral kelayakan rasional yang tidak dapat diturunkan dalam arti
tidak dapat dianalisis (mudhofir, 2009: 141)
Aliran Etika dan karakteristiknya
Aliran
|
Orientasi
|
Watak nilai
|
Keterangan
|
Etika
Keutamaan
|
Keutamaan
atau kebajikan
|
Disiplin, kejujuran,belas
kasih, murah hati, dan
seterusnya
|
Moralitas yang
didasarkan pada agama
kebanyakan menganut
etika keutamaan.
|
Teleologis
|
Konsekuensi
atau akibat
|
Kebenaran dan
kesalahan
didasarkan pada
tujuan akhir
|
Aliran etika yang
berorientasi pada
konsekuensi atau hasil
seperti: Eudaemonisme,
Hedonisme,
Utilitarianisme.
|
Deontologis
|
Kewajiban atau
keharusan
|
Kelayakan,
kepatutan,
kepantasan
|
Pandangan etika yang
mementingkan
kewajiban seperti halnya
pemikiran Immanuel
Kant yang terkenal
dengan sikap imperative
kategoris, perbuatan baik
dilakukan tanpa pamrih.
|
c. Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah cabang filsafat
yang dijabarkan
dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh
karena itu, dalam etika
Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk
perilaku manusia Indonesia
dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung
dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan
diri manusia kepada Sang
Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan
manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan
antarsesama. Sila
persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan cinta tanah
air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap
menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain,
tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau
peduli atas nasib orang lain, kesediaan membantu kesulitan
orang lain. Etika
Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika
kebajikan, meskipun corak kedua mainstream yang lain,
deontologis dan teleologis
termuat pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan
karena etika Pancasila tercermin dalam empat tabiat saleh,
yaitu kebi jaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan keadilan. Kebijaksanaan artinya
melaksanakan suatu
tindakan yang didorong oleh kehendak yang tertuju pada kebaikan serta
atas dasar kesatuan akal – rasa – kehendak yang berupa kepercayaan
yang
tertuju pada kenyataan mutlak kemanusiaan dan nilai-nilai hidup
religius. Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas
dalam hal kenikmatan. Keteguhan artinya
membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam menghindari
penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada
diri sendiri dan
manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang telah
menjadi haknya (mufhofir,2009:386).
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem
etika terkait dengan problem yang
dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut.
·
Pertama, banyaknya kasus korupsi yang
melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
·
Kedua, masih terjadinya aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan
antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam
disintegrasi bangsa.
·
Ketiga,
masih terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia kasus penyerbuan Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada 2013 yang lalu.
·
Keempat, kesenjangan antara kelompok
masyarakat kaya dan miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia.
·
Kelima, ketidakadilan hokum yang masih
mewarnai proses peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas bersyarat atas
pengedar narkoba asal Australia Schapell Corby. Kesemuanya itu memperlihatkan
pentingnya dan mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika
karena dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga
negara untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Etika Pancasila diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang
hidup. Namun, diperlukan
kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut agar
tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos.
Misalnya, korupsi terjadi
lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang memerlukan
bantuan atau jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si
pejabat menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan hadiah. Demikian
pula halnya
dengan masyarakat yang menerima sesuatu dalam konteks politik
sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap.
Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika
Pancasila sebagai sistem etika
diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur
sistem penyelenggaraan negara. Anda dapat bayangkan apabila
dalam
penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada sistem etika yang
menjadi guidance
atau tuntunan bagi para penyelenggara
negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai
sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, mel iputi
hal-hal sebagai berikut.
·
Pertama, korupsi akan bersimaharajalela
karena para penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam
menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan
yang boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait
dengan pemahaman atas kriteria baik dan buruk. Archie Bahm dalam Axiology of
Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah.
Namun, baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk
melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut
dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm,
”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm,1998:58)
·
Kedua, dekadensi moral yang melanda
kehidupan masyarakat, terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan
hidup bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai
dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi
sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh
globalisasi tidak sejalan dengan nilai -nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai
dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara
lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada
orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar.
Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan
kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di
sekolah-sekolah.
·
Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia
bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap
hak pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di berbagai media,
seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga, penelantaran anak-anak
yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah tangga
menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat
terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal.
Oleh karena itu, di samping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila,
diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-undangan
tentang HAM (Lihat Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM).
·
Keempat, kerusakan lingkungan yang
berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti kesehatan,
kelancaran penerbangan, nasib generasi yang akan datang, global warming,
perubahan cuaca, dan lainsebagainya. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa
kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat
tempat yang tepat di hati masyarakat. Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung
memutuskan tindakan berdasarkan sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan
sesaat, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang
paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehinggamenimbulkan kabut asap.
Oleh karena itu, Pancasila sebagai
sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang
menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan
yang terlibat.
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai
Sistem Etika
1. Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai
sistem etika masih berbentuk
sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya,
nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem
etika, tetapi nilai–nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam
masa orde
lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden
Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri diatas
kaki sendiri).
Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai
sistem etikadisosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam
wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila
Pancasila sebagai
hasil temuan dari para peneliti BP-7.
Untuk memudahkan pemahaman tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada
tabel berikut (Soeprapto,1993)
SILA PANCASILA
|
CARA PENGAMALAN
|
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
|
a. Manusia Indonesia percaya dan takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat menghormati dan bekerja
sama antarpara pemeluk agama dan
para penganut kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain
|
2. Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab
|
a. Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan
kewajiban asasi antarsesama manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang
lain
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan
keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, dikembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa lain.
|
3. Persatuan Indonesia
|
a. Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan, keselamatan bangsa dan
bernegara di atas kepentingan pribadi
atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan
bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia
dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa
yang berbhineka
tunggal ika.
|
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
|
a. Sebagai warga negara dan warga
masyarakat mempunyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama dengan
mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
e. Dengan itikad yang baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil putusan
musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
g. Putusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.
|
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia
|
a. Mengembangkan perbuatan yang
luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada
orang lain
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap
orang lain.
g. Tidak bersifat boros
h. Tidak bergaya hidup mewah
i. Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum
j. Suka bekerja keras
k. Bersama-sama berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
|
Pada era reformasi, Pancasila sebagai
sistem etika tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus
kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse
of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang
menciptakan korupsi
di berbagai kalangan penyelenggara negara.
2. Sumber Sosiologis
Sumber sosiologis Pancasila sebagai
sistem etika dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang
Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat
air oleh pembuluh,
bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan local
yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan
penelitian yang mendalam.
3. Sumber politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem
etika terdapat dalam norma-norma
dasar perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu
norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah
memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi
suatu norma,akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya, akan
semakin konkrit norma tersebut sistem etika merupakan
norma tertinggi sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di
bawahnya bersifat
konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku
politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas,
struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana,
dan aksi politik itu
sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan
dan keadilan. Dimensi
sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan
prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik
penyelenggaraan negara dan yang mendasari instituisi-institusi sosial. Dimensi aksi politik
berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik.
Rasionalitas politik
terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik
dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi
dan paham permasalahan
(Haryatmoko,2003).
Comments
Post a Comment